PENYAKIT AUTOIMUN
www.news-medical.net/.../What-is-Autoimmune-Disease-(Indonesian).aspx
PENDAHULUAN
Diagnosis
penyakit autoimun ditegakkan bila keadaan autoimun (respons imun terhadap diri sendiri) berhubungan dengan pola gejala
dan tanda klinik yang dikenali. Keadaan autoimun biasanya ditetapkan
berdasarkan deteksi adanya antibodi yang khas dalam sirkulasi penderita.
Ada
dua teori utama yang menerangkan mekanisme terjadinya penyakit autoimun. Yang
pertama adalah : autoimun disebabkan oleh kegagalan pada delesi normal limfosit
untuk mengenali antigen tubuh sendiri. Teori yang berkembang terakhir adalah
autoimun disebabkan oleh kegagalan regulasi normal dari sistem imunitas (yang
mengandung beberapa sel imun yang mengenali antigen tubuh sendiri namun mengalami
supresi). Nampaknya kombinasi faktor lingkungan, genetik dan tubuh sendiri berperan dalam ekspresi penyakit autoimun.1, 2
Keberadaan
penyakit autoimun pada kehamilan bukan hal yang jarang dijumpai. Beberapa
penyakit autoimun dapat menimbulkan dampak yang menonjol dalam kehamilan. Yang
lainnya mungkin dipengaruhi oleh kehamilan dan ada juga yang mempunyai bentuk
yang khas yang berhubungan dengan kehamilan. Seorang obstetrikus harus
mengetahui dengan baik penyakit autoimun
yang sering ditemukan, bagaimana pengaruhnya terhadap kehamilan dan bagaimana
pengaruh kehamilan terhadap penyakit autoimun tersebut serta apa akibat yang
dapat ditimbulkan oleh penyakit ini terhadap ibu dan janinnya. Dalam makalah
ini akan dibahas mengenai beberapa penyakit autoimun yang sering ditemukan
dalam kehamilan.
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
Systemic lupus erythematosus (SLE)
adalah suatu penyakit inflamasi kronik yang idiopathic, mengenai kulit, sendi,
ginjal, paru-paru, membrana serosa, sistem saraf, hati dan berbagai organ tubuh
yang lain. Seperti penyakit autoimun yang lain kejadiannya ditandai oleh
periode remisi dan relaps. Gejala yang paling sering ditemukan adalah
kelelahan. Demam, penurunan berat badan, myalgia dan arthralgia juga merupakan
gejala yang sering ditemukan.1, 3
Prevalensi
penyakit ini berkisar 5-100 per 100.000 individu, wanita dewasa mempunyai
kemungkinan 5-10 kali lebih besar untuk menderita penyakit ini dibandingkan
dengan pria. Populasi tertentu mempunyai prevalensi yang lebih tinggi, misalnya
pada wanita Amerika turunan Afrika prevalensinya tiga kali lebih tinggi
dibanding dengan wanita turunan Kaukasian.1, 3
Predisposisi
genetik untuk SLE mencakup beberapa faktor. Kejadian SLE berkisar 5-12% pada
keluarga penderita SLE, pada penderita yang kembar monozigot kejadiannya lebih
dari 50%. Sejumlah petanda genetik ditemukan lebih sering pada penderita SLE
dibanding kelompok kontrol, meliputi HLA-B8, HLA-DR3 dan HLA-DR2. Penderita SLE
juga mempunyai frekuensi defisiensi protein komplemen C2 dan C4 yang lebih
tinggi.2
Diagnosis
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi yang beredar dalam
sirkulasi. Sejumlah antibodi dikenali berhubungan dengan kejadian SLE, yang
terutama adalah antinuclear antibodi (ANA). Dahulu dikenali faktor serum yang
menyebabkan fenomena lupus erythematosus (LE), suatu autoantibodi yang
diketahui melawan nukleoprotein (DNA-histone), namun saat ini fenomena sel LE
tidak penting untuk diagnosis dan sudah digantikan oleh pemeriksaan
immunofluorescent terhadap ANA yang berperan sebagai uji saring dalam diagnostik awal terhadap penderita yang
dicurigai menginap SLE.1
Antibodi terhadap DNA untai ganda merupakan pemeriksaan yang paling
spesifik untuk SLE dan ditemukan pada 80-90% penderita yang tidak diobati.
Peningkatan kadar antibodi ini berhubungan dengan eksaserbasi penyakit dan
persalinan prematur. Antibodi terhadap DNA untai tunggal juga meningkat pada
penderita SLE yang tidak diobati namun kurang spesifik dibanding antibodi DNA
untai ganda.1-3
Tabel 1. Frekuensi gejala klinis SLE (dikutip dari kepustakaan 1 )
Gejala
|
Penderita (%)
|
Kelelahan
Demam
Arthralgia,
arthritis
Myalgia
Penurunan
berat badan
Kulit
:
-
ruam
berbentuk kupu-kupu
-
fotosensitif
-
lesi
membran mukosa
Komplikasi
ginjal
Paru-paru:
-
pleurisy
-
efusi
-
pneumonitis
Jantung
(perikarditis)
Lymphadenopathy
SSP
-
kejang
-
psikosis
|
80-100
80-100
95
70
>60
50
60
35
50
50
25
5-10
10-50
50
15-20
< 25
|
Pada tahun 1971 American Rheumatism
Association (ARA) membuat kriteria diagnosis SLE yang kemudian di revisi pada tahun 1982.
Untuk menegakkan diagnosis SLE diperlukan minimal 4 dari 11 kriteria pada satu kali pemeriksaan atau pada
pemeriksaan serial. Kriteria – kriteria ini sangat sensitif dan spesifik untuk
SLE namun perlu diketahui bahwa kriteria ini jangan pernah diharapkan untuk
membentuk sine quo non untuk diagnosis
SLE.1,
2
Klasifikasi ARA untuk diagnosis SLE : 1
Malar rash
Discoid rash
Photosensitivity
Oral ulcers
Arthritis (non-deforming arthritis)
Serositis (pleuritis and/ or pericarditis)
Renal disorder (proteiuria >0,5
g/day or celluler casts)
Neurological disorder (psychosis
and/or seizures)
Hematological disorder (leukopenia or
lymphopenia / hemolitic anemia / thrombocytopenia)
Immunological disorder (anti-DNA /
anti SM/LE cell/ false positive STS)
Antinuclear antibody
Risiko maternal
Risiko
yang paling ditakuti pada masa kehamilan adalah eksaserbasi SLE. Deteksi
eksaserbasi SLE pada masa kehamilan sulit dilakukan karena manifestasi khas
dari eksaserbasi mungkin merupakan hal yang normal pada kehamilan. Penelitian
yang dilakukan Garenstein dkk menemukan bahwa risiko eksaserbasi 3 kali lebih
besar pada 20 minggu pertama kehamilan dan 6 kali lebih besar pada 8 minggu
pertama postpartum dibanding dengan masa 32 minggu sebelum konsepsi.1, 2, 4
Beberapa
penelitian menemukan angka kematian
janin pada penderita SLE relatif tinggi, sehingga disarankan agar penderita SLE
tidak boleh hamil. Secara keseluruhan sekitar 15-60% penderita SLE akan
mengalami eksaserbasi dalam masa kehamilan dan postpartum, namun untungnya
tigaperempatnya bersifat ringan sampai sedang dan dapat diobati dengan
glukokortikoid dosis ringan sampai sedang.1, 3
Devoe
dkk menemukan bahwa eksaserbasi ditandai dengan penurunan kadar C3 dan C4,
sedang Lockshin dkk menemukan bahwa kadar Cls-C1 inhibitor complex yang
seharusnya meningkat akan menetap pada kebanyakan wanita hamil dengan
hypocomplementemia, namun ada pula penelitian lain yang menemukan
hypocomplementemia pada kehamilan tanpa SLE dan tidak memprediksi luaran janin
yang buruk. Tomer dkk menemukan peningkatan kadar anti-dsDNA berhubungan dengan
risiko eksaserbasi dan persalinan prematur, mereka juga menemukan bahwa
peningkatan kadar anti-dsDNA dan
antibodi antikardiolipin meningkatkan risiko abortus.1
Penyakit
ginjal merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada SLE (50%). Pada
umumnya dianggap bahwa lupus nephritis (LN) berhubungan dengan deposisi
kompleks imun yang mengakibatkan aktivasi komplemen dan kerusakan inflamasi
jaringan pada ginjal yang ditandai dengan gejala proteinuria pada 75%
penderita, dan sekitar 40% dengan hematuria dan pyuria, serta sepertiganya
dengan urinary cast. Hasil biopsi ginjal sangat penting untuk menentukan
pengobatan dan prognosis. Laporan penelitian terdahulu menyebutkan bahwa LN
merupakan kontributor utama untuk morbiditas dan mortalitas ibu. Gambaran
patologi biopsi ginjal berupa : diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN), focal
proliferative glomerulonephritis, membranous glomerulonephritis dan mesangial
nephritis.1,
2
Secara
keseluruhan pada 20-30% kehamilan dengan SLE terjadi komplikasi pregnancy
induced hypertension (PIH), penyebabnya belum diketahui namun mungkin didasari
oleh penyakit ginjal yang merupakan suatu faktor yang berhubungan dengan PIH. Pemakaian
kortikosteroid dosis tinggi (> 30 mg prednison) selama kehamilan mungkin
pula merupakan faktor predisposisi terjadinya PIH.1, 4
Risiko pada janin
Kematian
janin merupakan salah satu risiko SLE pada kehamilan, hal ini mungkin
berhubungan dengan disfungsi plasenta yang dibuktikan dengan peningkatan alfa
fetoprotein dalam serum ibu hamil yang menderita SLE dibandingkan dengan ibu
hamil normal. Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Lockshin dkk menemukan
lebih dari 20% kematian janin terjadi
pada trimester kedua dan ketiga, namun Wong dkk menemukan tidak ada kematian
janin pada 19 kehamilan dengan SLE yang berlanjut.1
Pada
satu penelitian ditemukan bahwa antibodi antiphospolipid merupakan indikator
yang sensitif untuk kegawatan janin dan kematian janin. Antibodi
antiphospholipid ditemukan pada 10 dari 11 penderita dengan kematian janin
dalam rahim dan mempunyai nilai prediksi postif lebih dari 50%.1, 2
Persalinan
prematur lebih sering ditemukan pada penderita SLE dibandingkan dengan ibu hamil
normal terutama pada ibu hamil dengan komplikasi eksaserbasi. Mintz dkk
menemukan 23% kehamilan yang berakhir dengan gangguan pertumbuhan janin
termasuk 4 kasus lahir mati. SLE dengan komplikasi lupus nephritis meningkatkan
kejadian restriksi pertumbuhan janin dalam rahim.1, 3
Neonatal
lupus erythematosus (NLE) merupakan kejadian yang jarang (1:20.000 kelahiran
hidup) merupakan kondisi yang ditandai dengan abnormalitas kulit, jantung dan
hematologik. Lesi kulit adalah kelainan yang paling sering ditemukan ditandai
dengan bercak bulat atau elips. Kelainan jantung yang berhubungan dengan NLE
adalah congenital complete heart block (CCHB) dan endocardial
fibroelastosis, dengan gejala bradikardia 60-80 denyut permenit yang
ditemukan pada kehamilan 16-25 minggu. Dapat terjadi hidrops fetalis yang
tergantung pada derajat fibrosis endomyocardial dan disfungsi miokard. Oleh
karena lesi yang permanen pada CCHB maka diperlukan pemasangan pacu jantung
untuk meningkatkan harapan hidup neonatus.1, 3
Penanganan
Pada
masa pra kehamilan diperlukan konseling untuk menjelaskan risiko SLE pada
kehamilan baik terhadap ibu maupun janin yang dikandung. Idealnya untuk hamil
pasien harus dalam keadaan remisi dan tidak mendapat terapi obat-obat sitotoksik
dan NSAID, dan dilakukan pemeriksaan darah dan urin untuk menyingkirkan adanya anemia,
trombositopenia dan penyakit ginjal yang mendasari. Pada masa kehamilan ibu
hamil penderita SLE harus diperiksa tiap 2 minggu sekali pada trimester I dan
II serta tiap minggu pada trimester III. Pada setiap kunjungan harus ditanyakan
tentang aktivitas tanda dan gejala SLE.1, 3
Berhubungan
dengan risiko insufisiensi uteroplasenter maka dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan USG tiap 4-6 minggu sejak kehamilan 18-20 minggu. Penilaian
kesejahteraan janin harus dilakukan pada kehamilan 30-32 minggu. Pada pasien
dengan eksaserbasi, hipertensi, proteinuria, pertumbuhan janin terhambat dan
APS dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan USG yang lebih sering dan pada usia
kehamilan yang lebih dini (24-25 minggu).1, 3
Bila
eksaserbasi terjadi pada masa persalinan maka dianjurkan pemberian
hidrokortison 100 mg /iv tiap 8 jam. Kehadiran neonatologist dalam persalinan
diperlukan sehubungan dengan kemungkinan komplikasi CCHB dan manifestasi lupus
neonatal yang lain. Pengobatan yang diberikan pada masa persalinan diteruskan
sampai postpartum, penyesuaian dosis obat dapat dilakukan dalam rawat jalan.1