Rabu, 10 April 2013


 PENYAKIT AUTOIMUN

www.news-medical.net/.../What-is-Autoimmune-Disease-(Indonesian).aspx

PENDAHULUAN

            Diagnosis penyakit autoimun ditegakkan bila keadaan autoimun (respons imun terhadap  diri sendiri) berhubungan dengan pola gejala dan tanda klinik yang dikenali. Keadaan autoimun biasanya ditetapkan berdasarkan deteksi adanya antibodi yang khas dalam sirkulasi penderita.
            Ada dua teori  utama yang menerangkan  mekanisme terjadinya penyakit autoimun. Yang pertama adalah : autoimun disebabkan oleh kegagalan pada delesi normal limfosit untuk mengenali antigen tubuh sendiri. Teori yang berkembang terakhir adalah autoimun disebabkan oleh kegagalan regulasi normal dari sistem imunitas (yang mengandung beberapa sel imun yang mengenali antigen tubuh sendiri namun mengalami supresi). Nampaknya kombinasi faktor lingkungan, genetik dan tubuh sendiri  berperan dalam ekspresi penyakit autoimun.1, 2
            Keberadaan penyakit autoimun pada kehamilan bukan hal yang jarang dijumpai. Beberapa penyakit autoimun dapat menimbulkan dampak yang menonjol dalam kehamilan. Yang lainnya mungkin dipengaruhi oleh kehamilan dan ada juga yang mempunyai bentuk yang khas yang berhubungan dengan kehamilan. Seorang obstetrikus harus mengetahui dengan baik  penyakit autoimun yang sering ditemukan, bagaimana pengaruhnya terhadap kehamilan dan bagaimana pengaruh kehamilan terhadap penyakit autoimun tersebut serta apa akibat yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ini terhadap ibu dan janinnya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa penyakit autoimun yang sering ditemukan dalam kehamilan.

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
            Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi kronik yang idiopathic, mengenai kulit, sendi, ginjal, paru-paru, membrana serosa, sistem saraf, hati dan berbagai organ tubuh yang lain. Seperti penyakit autoimun yang lain kejadiannya ditandai oleh periode remisi dan relaps. Gejala yang paling sering ditemukan adalah kelelahan. Demam, penurunan berat badan, myalgia dan arthralgia juga merupakan gejala yang sering ditemukan.1, 3
            Prevalensi penyakit ini berkisar 5-100 per 100.000 individu, wanita dewasa mempunyai kemungkinan 5-10 kali lebih besar untuk menderita penyakit ini dibandingkan dengan pria. Populasi tertentu mempunyai prevalensi yang lebih tinggi, misalnya pada wanita Amerika turunan Afrika prevalensinya tiga kali lebih tinggi dibanding dengan wanita turunan Kaukasian.1, 3
            Predisposisi genetik untuk SLE mencakup beberapa faktor. Kejadian SLE berkisar 5-12% pada keluarga penderita SLE, pada penderita yang kembar monozigot kejadiannya lebih dari 50%. Sejumlah petanda genetik ditemukan lebih sering pada penderita SLE dibanding kelompok kontrol, meliputi HLA-B8, HLA-DR3 dan HLA-DR2. Penderita SLE juga mempunyai frekuensi defisiensi protein komplemen C2 dan C4 yang lebih tinggi.2

Diagnosis

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi yang beredar dalam sirkulasi. Sejumlah antibodi dikenali berhubungan dengan kejadian SLE, yang terutama adalah antinuclear antibodi (ANA). Dahulu dikenali faktor serum yang menyebabkan fenomena lupus erythematosus (LE), suatu autoantibodi yang diketahui melawan nukleoprotein (DNA-histone), namun saat ini fenomena sel LE tidak penting untuk diagnosis dan sudah digantikan oleh pemeriksaan immunofluorescent terhadap ANA yang berperan sebagai uji saring dalam  diagnostik awal terhadap penderita yang dicurigai menginap SLE.1
Antibodi terhadap DNA untai  ganda merupakan pemeriksaan yang paling spesifik untuk SLE dan ditemukan pada 80-90% penderita yang tidak diobati. Peningkatan kadar antibodi ini berhubungan dengan eksaserbasi penyakit dan persalinan prematur. Antibodi terhadap DNA untai tunggal juga meningkat pada penderita SLE yang tidak diobati namun kurang spesifik dibanding antibodi DNA untai ganda.1-3
Tabel 1. Frekuensi gejala klinis SLE (dikutip dari kepustakaan 1 )
Gejala
Penderita (%)
Kelelahan
Demam
Arthralgia, arthritis
Myalgia
Penurunan berat badan
Kulit :
-          ruam berbentuk kupu-kupu
-          fotosensitif
-          lesi membran mukosa
Komplikasi ginjal
Paru-paru:
-          pleurisy
-          efusi
-          pneumonitis
Jantung (perikarditis)
Lymphadenopathy
SSP
- kejang
- psikosis
80-100
80-100
95
70
>60

50
60
35
50

50
25
5-10
10-50
50

15-20
< 25

Pada tahun 1971 American Rheumatism Association (ARA) membuat kriteria diagnosis SLE  yang kemudian di revisi pada tahun 1982. Untuk menegakkan diagnosis SLE diperlukan minimal 4 dari 11 kriteria  pada satu kali pemeriksaan atau pada pemeriksaan serial. Kriteria – kriteria ini sangat sensitif dan spesifik untuk SLE namun perlu diketahui bahwa kriteria ini jangan pernah diharapkan untuk membentuk  sine quo non untuk diagnosis SLE.1, 2
Klasifikasi ARA untuk diagnosis SLE : 1
Malar rash
Discoid rash
Photosensitivity
Oral ulcers
Arthritis (non-deforming arthritis)
Serositis  (pleuritis and/ or pericarditis)
Renal disorder (proteiuria >0,5 g/day or celluler casts)
Neurological disorder (psychosis and/or seizures)
Hematological disorder (leukopenia or lymphopenia / hemolitic anemia / thrombocytopenia)
Immunological disorder (anti-DNA / anti SM/LE cell/ false positive STS)
Antinuclear antibody

Risiko maternal

            Risiko yang paling ditakuti pada masa kehamilan adalah eksaserbasi SLE. Deteksi eksaserbasi SLE pada masa kehamilan sulit dilakukan karena manifestasi khas dari eksaserbasi mungkin merupakan hal yang normal pada kehamilan. Penelitian yang dilakukan Garenstein dkk menemukan bahwa risiko eksaserbasi 3 kali lebih besar pada 20 minggu pertama kehamilan dan 6 kali lebih besar pada 8 minggu pertama postpartum dibanding dengan masa 32 minggu sebelum konsepsi.1, 2, 4
            Beberapa penelitian menemukan  angka kematian janin pada penderita SLE relatif tinggi, sehingga disarankan agar penderita SLE tidak boleh hamil. Secara keseluruhan sekitar 15-60% penderita SLE akan mengalami eksaserbasi dalam masa kehamilan dan postpartum, namun untungnya tigaperempatnya bersifat ringan sampai sedang dan dapat diobati dengan glukokortikoid dosis ringan sampai sedang.1, 3
            Devoe dkk menemukan bahwa eksaserbasi ditandai dengan penurunan kadar C3 dan C4, sedang Lockshin dkk menemukan bahwa kadar Cls-C1 inhibitor complex yang seharusnya meningkat akan menetap pada kebanyakan wanita hamil dengan hypocomplementemia, namun ada pula penelitian lain yang menemukan hypocomplementemia pada kehamilan tanpa SLE dan tidak memprediksi luaran janin yang buruk. Tomer dkk menemukan peningkatan kadar anti-dsDNA berhubungan dengan risiko eksaserbasi dan persalinan prematur, mereka juga menemukan bahwa peningkatan kadar anti-dsDNA  dan antibodi antikardiolipin meningkatkan risiko abortus.1
            Penyakit ginjal merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada SLE (50%). Pada umumnya dianggap bahwa lupus nephritis (LN) berhubungan dengan deposisi kompleks imun yang mengakibatkan aktivasi komplemen dan kerusakan inflamasi jaringan pada ginjal yang ditandai dengan gejala proteinuria pada 75% penderita, dan sekitar 40% dengan hematuria dan pyuria, serta sepertiganya dengan urinary cast. Hasil biopsi ginjal sangat penting untuk menentukan pengobatan dan prognosis. Laporan penelitian terdahulu menyebutkan bahwa LN merupakan kontributor utama untuk morbiditas dan mortalitas ibu. Gambaran patologi biopsi ginjal berupa : diffuse proliferative  glomerulonephritis (DPGN), focal proliferative glomerulonephritis, membranous glomerulonephritis dan mesangial nephritis.1, 2
            Secara keseluruhan pada 20-30% kehamilan dengan SLE terjadi komplikasi pregnancy induced hypertension (PIH), penyebabnya belum diketahui namun mungkin didasari oleh penyakit ginjal yang merupakan suatu faktor yang  berhubungan dengan PIH. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi (> 30 mg prednison) selama kehamilan mungkin pula merupakan faktor predisposisi terjadinya PIH.1, 4

 

Risiko pada janin

            Kematian janin merupakan salah satu risiko SLE pada kehamilan, hal ini mungkin berhubungan dengan disfungsi plasenta yang dibuktikan dengan peningkatan alfa fetoprotein dalam serum ibu hamil yang menderita SLE dibandingkan dengan ibu hamil normal. Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Lockshin dkk menemukan lebih dari  20% kematian janin terjadi pada trimester kedua dan ketiga, namun Wong dkk menemukan tidak ada kematian janin pada 19 kehamilan dengan SLE yang berlanjut.1
            Pada satu penelitian ditemukan bahwa antibodi antiphospolipid merupakan indikator yang sensitif untuk kegawatan janin dan kematian janin. Antibodi antiphospholipid ditemukan pada 10 dari 11 penderita dengan kematian janin dalam rahim dan mempunyai nilai prediksi postif lebih dari 50%.1, 2
            Persalinan prematur lebih sering ditemukan pada penderita SLE dibandingkan dengan ibu hamil normal terutama pada ibu hamil dengan komplikasi eksaserbasi. Mintz dkk menemukan 23% kehamilan yang berakhir dengan gangguan pertumbuhan janin termasuk 4 kasus lahir mati. SLE dengan komplikasi lupus nephritis meningkatkan kejadian restriksi pertumbuhan janin dalam rahim.1, 3
            Neonatal lupus erythematosus (NLE) merupakan kejadian yang jarang (1:20.000 kelahiran hidup) merupakan kondisi yang ditandai dengan abnormalitas kulit, jantung dan hematologik. Lesi kulit adalah kelainan yang paling sering ditemukan ditandai dengan bercak bulat atau elips. Kelainan jantung yang berhubungan dengan NLE adalah congenital complete heart block (CCHB) dan endocardial fibroelastosis, dengan gejala bradikardia 60-80 denyut permenit yang ditemukan pada kehamilan 16-25 minggu. Dapat terjadi hidrops fetalis yang tergantung pada derajat fibrosis endomyocardial dan disfungsi miokard. Oleh karena lesi yang permanen pada CCHB maka diperlukan pemasangan pacu jantung untuk meningkatkan harapan hidup neonatus.1, 3

Penanganan
            Pada masa pra kehamilan diperlukan konseling untuk menjelaskan risiko SLE pada kehamilan baik terhadap ibu maupun janin yang dikandung. Idealnya untuk hamil pasien harus dalam keadaan remisi dan tidak mendapat terapi obat-obat sitotoksik dan NSAID, dan dilakukan pemeriksaan darah dan urin  untuk menyingkirkan adanya anemia, trombositopenia dan penyakit ginjal yang mendasari. Pada masa kehamilan ibu hamil penderita SLE harus diperiksa tiap 2 minggu sekali pada trimester I dan II serta tiap minggu pada trimester III. Pada setiap kunjungan harus ditanyakan tentang aktivitas tanda dan gejala SLE.1, 3
            Berhubungan dengan risiko insufisiensi uteroplasenter maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan USG tiap 4-6 minggu sejak kehamilan 18-20 minggu. Penilaian kesejahteraan janin harus dilakukan pada kehamilan 30-32 minggu. Pada pasien dengan eksaserbasi, hipertensi, proteinuria, pertumbuhan janin terhambat dan APS dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan USG yang lebih sering dan pada usia kehamilan yang lebih dini (24-25 minggu).1, 3
            Bila eksaserbasi terjadi pada masa persalinan maka dianjurkan pemberian hidrokortison 100 mg /iv tiap 8 jam. Kehadiran neonatologist dalam persalinan diperlukan sehubungan dengan kemungkinan komplikasi CCHB dan manifestasi lupus neonatal yang lain. Pengobatan yang diberikan pada masa persalinan diteruskan sampai postpartum, penyesuaian dosis obat dapat dilakukan dalam rawat jalan.1

0 komentar:

Posting Komentar

Love is...
© Goresan Tangan Kecilku - Template by Blogger Sablonlari - Font by Fontspace